Musa Mempertunjukkan Dua Mukjizatnya Kepada Fir'aun


Musa Mempertunjukkan Dua Mukjizatnya Kepada Fir'aun

Menjawab tentangan Fir'aun yang menuntut bukti atas kebenarannya Musa dengan serta-merta meletakkan tongkat mukjizatnya di atas yang segera menjelma menjadi seekor ular besar yang melata menghala ke Fir'aun. Kerana ketakutan melompat lari dari singgahsananya melarikan diri seraya berseru kepada Musa: "Hai Musa demi asuhanku kepadamu selama lapan belas tahun panggillah kembali ularmu itu." Kemudian dipeganglah ular itu oleh Musa dan kembali menjadi tongkat biasa.

Berkata Fir'aun kepada Musa setelah hilang dari rasa hairan dan takutnya: "Adakah bukti yang dapat engkau tunjukkan kepadaku?" "Ya, lihatlah." Musa menjawab serta memasukkan tangannya ke dalam saku bajunya. Kemudian tatkala tangannya dikeluarkan dari sakunya, bersinarlah tangan Musa itu menyilaukan mata Fir'aun itu dan orang-orang yang sedang berada disekelilingnya. Fir'aun sebagai raja yang menyatakan dirinya sebagai tuhan tentu tidak akan mudah begitu saja menyerah kepada Musa bekas anak pungutnya walaupun kepadanya telah diperlihatkan dua mukjizat. Ia bahkan berkata kepada kaumnya yang ia khuatir akan terpengaruh oleh kedua mukjizat Musa itu bahawa itu semuanya adalah perbuatan sihir dan bahawa Musa dan Harun adalah ahli sihir yang mahir yang datang dengan maksud menguasai Mesir dan penduduknya akan kekuatan dengan sihirnya itu.

Fir'aun dianjurkan oleh penasihatnya yang dikepalai oleh Haman agar mematahkan sihir Musa dan Harun itu dengan mengumpulkan ahli-ahli sihir yang terkenal dari seluruh daerah kerajaan untuk bertanding melawan Musa dan Harun. Anjuran mana disetujui oleh Fir'aun yang merasa itu adalah fikiran yang tepat dan jalan yang terbaik untuk melumpuhkan kedua mukjizat Allah s.w.t. yang oleh mereka dianggapnya sebagai sihir. Anjuran itu lalu ditawarkan kepada Musa yang seketika tanpa ragu-ragu sedikit pun menerima tentangan Fir'aun untuk beradu dan bertanding melawan ahli-ahli sihir. Musa berkeyakinan penuh bahawa dengan perlindung Allah s.w.t. ia akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan itu, pertandingan antara perbuatan sihir yang diilham oleh syaitan laknatullah melawan mukjizat yang dikurniakan oleh Allah s.w.t..

Pada suatu hari raya kerajaan telah bersetuju untuk mengadakan hari pertandingan sihir maka berduyun-duyunlah penduduk kota menuju ke tempat yang telah ditentukan untuk menyaksikan perlumbaan kepandaian menyihir yang buat pertama kalinya diadakan di kota Mesir. Juga sudah berada di tempat ahli-ahli sihhir yang terpandai yang telah dikumpulkan dari seluruh wilayah kerajaan masing-masing membawa tongkat, tali dan lain-lain alat sihirnya. Mereka cukup bersemangat dan akan berusaha sepenuh kepandaian mereka untuk memenangi pertandingan. Mereka telah memperolehi janji dari Fir'aun akan diberi hadiah dan wang dalam jumlah yang besar bila berhasil mengalahkan Musa dengan mematahkan daya sihirnya.

Setelah selesai persiapan dan para pembesar negeri mengambil tempatnya mengelilingi Fir'aun yang telah duduk di atas kerusi singgahsananya maka dinyatakanlah pertandingan dimulai. Kemudian atas persetujuan Musa dipersilakan para lawannya beraksi lebih dahulu mempertujukan kepandai sihirnya. Segeralah ahli-ahli sihir Fir'aun menujukan aksinya melemparkan tongkat dan tali-temali mereka ke tengah-tengah lapangan. Musa merasa takut ketika terbayang kepadanya bahawa tongkat-tongkat dan tali-tali itu seakan-akan ular-ular yang merayap cepat. Namun Allah s.w.t. tidak mebiarkan hamba utusan-Nya berkecil hati menghadapi tipu-daya orang-orang kafir itu. Allah s.w.t. berfirman kepada Musa disaat ia merasa cemas itu: "Janganlah engkau merasa takut dan cemas hai Musa! engkau adalah yang lebih unggul dan akan menang dalam pertandingan ini. Lemparkanlah yang ada ditanganmu segera."

Para ahli-ahli sihir yang pandai dalam bidangnya itu tercengang ketika melihat ular besar yang menjelma dari tongkat Nabi Musa dan menelan ular-ular dan segala apa yang terbayang sebagai hasil tipu sihir mereka. Mereka segera menyerah kalah bertunduk dan bersujud {kepada Allah s.w.t.} dihadapan Musa seraya berkata: "Itu bukanlah perbuatan sihir yang kami kenal yang diilhamkan oleh syaitan tetapi sesuatu yang digerakkan oleh kekuatan ghaib yang mengatakan kebenaran kata-kata Musa dan Harun maka tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mempercayai risalah mereka dan beriman kepada Tuhan mereka sesudah apa yang kami lihat dan saksikan dengan mata kepala kami sendiri."

Fir'aun raja yang congkak dan sombong yang menuntut persembahan dari rakyatnya sebagai tuhan segera membelalakkan matanya tanda marah dan jengkel melihat ahli-ahli sihirnya begitu cepat menyerah kalah kepada Musa bahkan menyatakan beriman kepada Tuhannya dan kepada kenabiannya serta menjadi pengikut-pengikutnya. Tindakan mereka itu dianggapnya sebagai pelanggaran terhadap kekuasaannya, penentangan terhadap ketuhanannya dan merupakan suatu tamparan bagi kewibawaan serta prestasinya. Ia berkata kepada mereka: "Adakah kamu berani beriman kepada Musa dan menyerah kepada keputusannya sebelum aku izinkan kepada kamu? Bukankah ini suatu persekongkolan daripada kamu terhadapku? Musa dapat mengalah kamu sebab ia mungkin guru dan pembesar yang telah mengajarkan seni sihir kepadamu dan kamu telah mengatur bersama-samanya tindakan yang kamu sandiwarakan di depanku hari ini. Aku tidak akan tinggal diam menghadapi tindakan kianatmu ini. Akanku potong tangan-tangan dan kaki-kakimu serta akanku salibkan kamu semua pada pangkal pohon kurma sebagai hukuman dan balasan bagi tindakan kianatmu ini."

Ancaman Fir'aun itu disambut mereka dengan sikap dingin dan acuh tak acuh. Allah s.w.t. telah membuka mata hati mereka dengan cahaya iman sehingga tidak akan terpengaruh dengan kata-kata kebathilan yang menyesatkan atau ancaman Fir'aun yang menakutkan. Mereka sebagai-orang-orang yang ahli dalam ilmu dan seni sihir dapat membedakan yang mana satu sihir dan yang mana bukan. Maka sekali mereka diyakinkan dengan mukjizat Nabi Musa yang membuktikan kebenaran kenabiannya tidaklah keyakinan itu akan dapat digoyahkan oleh ancaman apa pun. Berkata mereka kepada Fir'aun menanggapi ancamannya: "Kami telah mendapat bukti-bukti yang nyata dan kami tidak akan mengabaikan kenyataan itu sekadar memenuhi kehendak dan keinginanmu. Kami akan berjalan terus mengikut jejak dan tuntutan Musa dan Harun sebagai pesuruh oleh yang benar. Maka terserah kepadamu untuk memutuskan apa yang engkau hendak putuskan terhadap diri kami. Keputusan kamu hanya berlaku di dunia ini sedang kami mengharapkan pahala Allah s.w.t. di akhirat yang kekal dan abadi."

Nabi Musa dan Al-Khidhir

Pada suatu ketika, Nabi Musa a.s. berdakwah di hadapan kaumnya, Bani Isra'il. Dalam pidatonya, beliau mengingatkan mereka tentang nikmat dan kurnia Allah s.w.t. yang telah dicurahkan kepada mereka, seperti pembebasan dari kekejaman Firaun dan berbagai mukjizat yang telah mereka saksikan. Nabi Musa mengingatkan mereka agar bersyukur dengan melaksanakan ibadah yang tulus, menjalankan perintah Allah, dan meninggalkan segala larangan-Nya. Bagi yang beriman dan bertakwa, Nabi Musa menjanjikan pahala yang besar, yaitu syurga. Namun, bagi mereka yang mengingkari nikmat Allah, ancaman seksa api neraka menanti.

Setelah selesai pidatonya, seorang yang hadir bertanya kepada Nabi Musa, "Wahai Musa, siapakah yang paling pandai dan berpengetahuan di muka bumi ini?" Nabi Musa, dengan penuh keyakinan, menjawab, "Aku." Tetapi penanya itu melanjutkan pertanyaan, "Apakah tidak ada orang lain yang lebih pandai dan berpengetahuan daripadamu?" Nabi Musa sekali lagi menjawab, "Tidak ada." Dalam hati kecilnya, Nabi Musa merasa bahawa ia adalah yang paling mulia dan berpengetahuan, karena beliau adalah Nabi terbesar di antara Bani Isra'il, penakluk Firaun, dan pemegang berbagai mukjizat, termasuk membelah laut dengan tongkatnya serta berbicara langsung dengan Allah.

Namun, Allah s.w.t. memperingatkan Nabi Musa bahwa ilmu itu luas, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengklaim dirinya sebagai yang paling pandai di bumi. Walaupun seseorang itu adalah seorang nabi, akan selalu ada orang yang lebih berilmu darinya. Oleh itu, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk bertemu dengan seorang hamba-Nya yang soleh, yang diberi ilmu dan hikmah oleh Allah, untuk menambah pengetahuannya. Hamba yang dimaksudkan itu akan mengajarkan Nabi Musa agar beliau menyedari bahawa tidak ada orang yang patut membanggakan dirinya sebagai yang paling berilmu.

Nabi Musa pun bertanya kepada Allah: "Wahai Tuhanku, di manakah aku boleh mencari hamba-Mu yang soleh itu?" Allah memberi petunjuk kepadanya, "Pergilah ke tempat di mana dua lautan bertemu, di situlah engkau akan menemui hamba-Ku yang soleh." Maka, Nabi Musa menyiapkan perjalanan jauh bersama pengikut setianya, Yusya' bin Nun. Mereka membawa bekal, termasuk seekor ikan yang disimpan dalam keranjang sesuai dengan petunjuk Allah. Nabi Musa berjanji tidak akan kembali sebelum menemukan hamba Allah yang soleh itu.

Setibanya mereka di tempat yang disebutkan, Nabi Musa tertidur di atas sebuah batu besar di tepi lautan. Dalam tidurnya, turunlah hujan rintik-rintik yang membasahi ikan dalam keranjang, yang kemudian melompat ke dalam laut tanpa mereka sedari. Setelah terjaga, mereka meneruskan perjalanan tanpa mengetahui ikan itu hilang. Setelah berjalan cukup jauh, Nabi Musa merasa lapar dan meminta Yusya' bin Nun untuk menyediakan makanan. Ketika membuka keranjang, Yusya' teringat akan ikan yang hilang dan memberitahukan Nabi Musa. Nabi Musa merasa senang, karena itu adalah tanda bahwa mereka berada di tempat yang dijanjikan Allah. Mereka segera kembali ke tempat batu tersebut, dan di sanalah mereka bertemu dengan hamba yang soleh, yang ternyata adalah Nabi Khidhir.

Nabi Musa memperkenalkan dirinya sebagai Nabi Bani Isra'il, dan Nabi Khidhir pun mengenalinya sebagai utusan Allah. Nabi Musa memohon agar dapat mengikuti Nabi Khidhir, dan belajar dari ilmu yang dimilikinya. Nabi Khidhir memperingatkan Nabi Musa bahwa perjalanan bersama dirinya akan penuh dengan kejadian-kejadian yang tidak akan dapat dipahami oleh Nabi Musa. Tindakan-tindakan yang dilihat oleh Nabi Musa akan tampak salah dan aneh, tetapi pada hakikatnya adalah tindakan yang benar. Nabi Musa berjanji untuk bersabar dan mengikuti segala petunjuk Nabi Khidhir.

Mereka pun memulai perjalanan bersama, dan pelanggaran pertama terjadi ketika mereka menaiki sebuah perahu yang diangkut secara percuma oleh pemilik perahu yang baik hati. Di tengah perjalanan, Nabi Musa terkejut melihat Nabi Khidhir melubangi perahu tersebut. Nabi Musa merasa tindakan itu merugikan pemilik perahu yang telah berbuat baik kepada mereka. Namun, Nabi Khidhir mengingatkan Nabi Musa bahwa ia tidak akan mampu bersabar melihat tindakan-tindakannya.

Perjalanan mereka berlanjut, dan mereka bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sedang bermain. Tanpa sebarang penjelasan, Nabi Khidhir membunuh anak itu. Nabi Musa sangat terkejut dan merasa tindakan itu tidak beralasan. Sekali lagi, Nabi Musa menegur Nabi Khidhir, tetapi Nabi Khidhir mengingatkannya kembali bahwa dia tidak akan dapat bersabar.

Pada akhirnya, mereka tiba di sebuah desa di mana mereka tidak mendapatkan bantuan dari penduduk yang kedekut. Namun, mereka melihat dinding sebuah rumah hampir roboh, dan Nabi Khidhir dengan penuh kebijaksanaan menegakkannya kembali tanpa meminta imbalan. Nabi Musa merasa bingung dan heran, mengapa Nabi Khidhir berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memperlihatkan kebaikan kepada mereka. Tetapi Nabi Khidhir menjelaskan bahwa semua tindakannya itu mempunyai alasan dan hikmah yang lebih besar, yang hanya akan dipahami di akhir perjalanan mereka.

Akhirnya, Nabi Khidhir menjelaskan seluruh perbuatannya kepada Nabi Musa. Tindakan melubangi perahu dilakukan untuk menyelamatkannya dari dirampas oleh raja yang zalim. Pembunuhan terhadap anak itu adalah untuk menyelamatkan kedua orang tuanya dari masa depan yang buruk. Dan menegakkan dinding itu adalah untuk melindungi harta yang ada di dalamnya agar tidak jatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Semua perbuatan itu, meskipun tampak aneh, memiliki hikmah dan tujuan yang lebih besar yang hanya dapat dipahami setelah perjalanan mereka berakhir.


Kredit Gambar: news.detik.com

Kisah Sapi Bani Isra'il


Salah satu dari beberapa mukjizat yang telah diberikan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Musa ialah penyembelihan sapi yang terkenal dengan sebutan sapi Bani Isra'il.

Dikisahkan bahawa ada seorang anak laki-laki putera tunggal dari seorang kaya-raya memperolehi warisan harta peninggalan yang besar dari ayahnya yang telah wafat tanpa meninggalkan seorang pewaris selain putera tunggalnya itu. Saudara-saudara sepupu dari putera tunggal itu iri hati dan ingin menguasai harta peninggalan yang besar itu atau setidak-tidaknya sebahagian daripadanya. Dan kerana menurut hukum yang berlaku pada waktu itu yang tidak memberikan hak kepada mereka untuk memperoleh walau sebahagian dari peninggalan bapa saudara mereka, mereka bersekongkol untuk membunuh saudara sepupu pewaris itu, sehingga bila ia sudah mati hak atau warisan yang besar itu akan jatuh kepada mereka.

Pembunuh atas pewaris sah itu dilaksanakan menurut rencana yang tersusun rapi kemudian datanglah mereka kepada Nabi Musa melaporkan, bahawa mereka telah menemukan saudara sepupunya mati terbunuh oleh seorang yang tidak dikenal identitinya mahupun tempat di mana ia menyembunyikan diri. Mereka mengharapkan Nabi Musa dapat menyingkap tabir yang menutupi peristiwa pembunuhan itu serta siapakah gerangan pembunuhnya. Untuk keperluan itu, Nabi Musa memohon pertolongan Allah s.w.t. yang segera menwahyukan perintah kepadanya agar ia menyembelih seekor sapi dan dengan lidah sapi yang disembelih itu dipukullah mayat sang korban yang dengan izin Allah s.w.t. akan bangun kembali memberitahukan siapakah sebenarnya yang telah melakukan pembunuhan atas dirinya.

Tatkala Nabi Musa menyampaikan cara yang diwahyukan oleh Allah s.w.t. itu kepada kaumnya ia ditertawakan dan diejek kerana akal mereka tidak dapat menerima bahawa hal yang sedemikian itu boleh terjadi. Mereka lupa bahawa Allah s.w.t. telah berkali-kali menunjukkan kekuasaan-Nya melalui mukjizat yang diberikan kepada Musa yang kadang kala bahkan lebih hebat dan lebih sukar untuk diterima oleh akal manusia berbanding mukjizat yang mereka hadapi dalam peristiwa pembunuhan pewaris itu. Berkata mereka kepada Musa secara mengejek: "Apakah dengan cara yang engkau usulkan itu, engkau bermaksud hendak menjadikan kami bahan ejekan dan tertawaan orang? Akan tetapi kalau memang cara yang engkau usulkan itu adalah wahyu, maka cubalah tanya kepada Tuhanmu, sapi betina atau jantankah yang harus kami sembelih? Dan apakah sifat-sifatnya serta warna kulitnya agar kami tidak dapat salah memilih sapi yang harus kami sembelih?"

Musa menjawab: "Menurut petunjuk Allah s.w.t., yang harus disembelih itu ialah sapi betina berwarna kuning tua, belum pernah dipakai untuk membajak tanah atau mengairi tanaman tidak cacat dan tidak pula ada belangnya." Kemudian dikirimkanlah orang ke pelosok desa dan kampung-kampung mencari sapi yang dimaksudkan itu yang akhirnya diketemukannya pada seorang anak yatim piatu yang memiliki sapi itu sebagai satu-satunya harta peninggalan ayahnya serta menjadi satu-satunya sumber nafkah hidupnya. Ayah anak yatim itu adalah seorang fakir miskin yang soleh, ahli ibadah yang tekun yang pada saat mendekati waktu wafatnya, berdoalah kepada Allah s.w.t. memohon perlindungan bagi putera tunggalnya yang tidak dapat meninggalkan warisan apa-apa baginya selain seekor sapi itu. Maka berkat doa ayah yang soleh itu terjuallah sapi si anak yatim itu dengan harga yang berlipat ganda kerana memenuhi syarat dan sifat-sifat yang diisyaratkan oleh Musa untuk disembelih.

Setelah disembelih sapi yang dibeli dari anak yatim itu, diambil lidahnya oleh Nabi Musa, lalu dipukulkannya pada tubuh mayat, yang seketika bangunlah ia hidup kembali dengan izin Allah s.w.t., menceritakan kepada Nabi Musa dan para pengikutnya bagaimana ia telah dibunuh oleh saudara-saudara sepupunya sendiri. Demikianlah mukjizat Allah s.w.t. yang kesekian kalinya diperlihatkan kepada Bani Isra'il yang keras kepala dan keras hati itu namun belum juga dapat menghilangkan sifat-sifat bongkak dan membangkang mereka atau mengikis-habis bibit-bibit syirik dan kufur yang masih melekat pada dada dan hati mereka.

KISAH NABI SYU'AIB A.S

Nabi Syuib A.S

Kaum Madyam, kaumnya Nabi Syu'ib, adalah segolongan bangsa Arab yang tinggal di sebuah daerah bernama "Ma'an" di pinggir negeri Syam. Mereka terdiri dari orang-orang kafir tidak mengenal Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menyembah kepada "Aikah" iaitu sebidang padang pasir yang ditumbuhi beberapa pohon dan tanam-tanaman. Cara hidup dan istiadat mereka sudah sangat jauh dari ajaran agama dan pengajaran nabi-nabi sebelum Nabi Syu'aib a.s. Kemungkaran, kemaksiatan dan tipu menipu dalam pengaulan merupakan perbuatan dan perilaku yang lumrah dan rutin. Kecurangan dan perkhianatan dalam hubungan dagang seperti pemalsuan barang, kecurian dalam simpanan dan penipuan timbangan menjadi ciri-ciri yang sudah sebati dengan diri mereka. Para pedagang dan petani kecil selalu menjadi korban permainan para pedagang-pedagang besar dan para pemilik modal, sehingga dengan demikian yang kaya makin bertambah kekayaannya, sedangkan yang lemah semakin merosot modalnya dan semakin melarat hidupnya.

Sesuai dengan sunnah Allah s.w.t sejak Adam diturunkan ke bumi bahawa dari waktu ke waktu bila manusia sudah lupakan kepada-Nya dan sudah jauh menyimpang dair ajaran-ajaran nabi-nabi-Nya, dan bila Iblis laknatullah serta syaitan sudah menguasai sesuatu masyarakat dengan ajaran dan tuntutannya yang menyesatkan maka Allah s.w.t. mengutuskan seorang rasul dan nabi untuk memberi penerangan serta tuntutan kepada mereka agar kembali ke jalan yang lurus dan benar, jalan iman dan tauhid yang bersih dari segala rupa syirik dan persembahan yang bathil.

Kepada kaum Madyan diutuslah oleh Allah s.w.t. seorang Rasul iaitu Nabi Syu'aib, seorang daripada mereka sendiri, sedarah dan sedaging dengan mereka. Ia mengajak mereka meninggalkan persembahan kepada Aikah, sebuah benda mati yang tidak bermanfaat atau bermudharat dan sebagai gantinya melakukan persembahan dan sujud kepada Allah Yang Maha Esa, Pencipta langit dan bumi termasuk sebidang tanah yang mereka puja sebagai tuhan mereka. Nabi Syu'aib meneyeru kepada mereka agar meninggalkan perbuatan-perbuatan dan kelakukan-kelakuan yang dilarang oleh Allah s.w.t. serta membawa kerugian bagi sesama manusia serta mengakibat kerosakan dan kebinasaan masyarakat. Mereka diajak agar berlaku adil dan jujur terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain, meninggalkan perkhianat dan kezaliman serta perbuatan curang dalam hubungan dagang, perampasan hak milik seseorang dan penindasan terhadap orang-orang yang lemah dan miskin.

Diingatkan oleh Nabi Syu'aib akan nikmat Allah s.w.t. dan kurniaan-Nya yang telah memberi mereka tanah subur serta suasana kemakmuran yang berlimpah-limpah dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan anak cucu yang pesat. Semuanya itu menurut seruan Nabi Syu'aib, patut diimbangi dengan rasa bersyukur dan bersembah kepada Allah Maha Pencipta yang akan melipat gandakan nikmat dan kurnia-Nya kepada orang-orang yang beriman dan bersyukur. Diingatkan pula Nabi Syu'aib bahawa mereka yang tidak mahu sedar dan kembali kepada jalan yang benar mengikuti ajaran dan perintah Allah s.w.t. yang dibawanya, nescaya Allah s.w.t. akan mencabut nikmat dan kurnia-Nya daripada mereka, bahkan akan menurunkan azabnya atas mereka di dunia selain seksa dari azab yang menanti mereka kelak di akhirat bila di bangkitkan kembali dari kubur.

Kepada mereka Nabi Syu'aib menceritakan seksa dan azab yang diturunkan oleh Allah s.w.t. terhadap kaum Nuh, kaum Hud, kaum Saleh dan paling dekat kaum Luth yang kesemua telah menderita dan menjadi binasa akibat kekafiran, keangkuhan dan keengganan mereka mengikuti ajaran serta tuntutan nabi-nabi yang diutus Allah s.w.t. kepada mereka. Diingatkan oleh Nabi Syu'aib agar mereka beriktibar dan ingat bahawa mereka akan mengalami nasib yang telah dialami oleh kaum-kaum itu jika mereka tetap melakukan persembahan yang bathil serta tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk dan jahat.

Dakwah dan ajakan Nabi Syu'aib disambut oleh mereka terutama penguasa, pembesar serta orang-orang kaya dengan ejekan dan olok-olok. Mereka berkata: "Adakah kerana solatmu, engkau memerintahkan kami menyembah selain apa yang telah kami sembah sepanjang hayat kami. Persembahan mana pula telah dilakukan oleh nenek moyang kami dan diwariskan kepada kami. Dan apakah juga kerana solatmu engkau menganjurkan kami meninggalkan cara-cara hidup sehari-hari yang nyata telah membawa kemakmuran dan kebahagian bagi kami bahkan sudah menjadi adat istiadat kami turun temurun. Sungguh kami tidak mengerti apa apa tujuanmu dan apa maksudmu dengan ajaran-ajaran baru yang engkau bawa kepada kami. Sungguh kami menyaksikan kesempurnaan akalmu dan keberesan otakmu!"

Ejekan dan olok-olok mrk didengar dan diterima oleh Syu'aib dengan kesabaran dan kelapangan dada. Ia sesekali tidak menyambut kata-kata kasar mereka dengan marah atau membalasnya dengan kata-kata yang kasar pula. Ia bahkan makin bersikap lemah lembut dalam dakwahnya dengan menggugah hati nurani dan akal mereka supaya memikirkan dan merenungkan apa yang dikatakan dan dinasihatkan kepada mereka. Dan sesekali ia menonjolkan hubungan darah dan kekeluargaannya dengan mereka, sebagai jaminan bahawa ia menghendaki perbaikan bagi hidup mereka di dunia dan akhirat dan bukan sebaliknya. Ia tidak mengharapkan sesuatu balas jasa atas usaha dakwahnya. Ia tidak pula memerlukan kedudukan atau menginginkan kehormatan bagi dirinya dari kaumnya. Ia akan cukup merasa puas jika kaumnya kembali kepada jalan Allah s.w.t., masyarakatnya akan menjadi masyarakat yang bersih dari segala kemaksiatan dan adat-istiadat yang buruk. Ia akan menerima upahnya dari Allah s.w.t. yang telah mengutuskannya sebagai rasul yang dibebani amanat untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya sendiri.

Kaum Syu'aib akhirnya merasa jengkel dan jemu melihat Nabi Syu'aib tidak henti-hentinya berdakwah bertabligh pada setiap kesempatan dan di mana saja ia menemui orang berkumpul. Penghinaan dan ancaman dilontar kepada Nabi Syu'aib dan para pengikutnya akan diusir dan akan dikeluarkan dari Madyan jika mereka mahu menghentikan dakwahnya atau tidak mahu mengikuti agama adn cara-cara hidup mereka. Berkata mereka kepada Nabi Syu'aib dengan nada mengejek: "Kami tidak mengerti apa yang kamu katakan. Nasihat-nasihatmu tidak mempunyai tempat di dalam hati dan kalbu kami. Engkau adalah seorang yang lemah fizikalnya, rendah kedudukan dalam pengaulan maka tidak mungkin engkau dapat mempengaruhi atau memimpin kami yang berfizikal lebih kuat dan berkedudukan yang lebih tinggi daripadamu. Cuba tidak kerana kerabatmu yang kami segani dan hormati, nescaya engkau telah kami rejam dan sisihkan dari pengaulan kami."

Nabi Syu'aib menjawab: "Aku tidak akan hentikan dakwahku kepada risalah Allah s.w.t. yang telah diamanahkan kepadaku dan janganlah kamu mengharapkan bahawa aku mahupun para pengikutku akan kembali mengikuti agamamu dan adat-istiadatmu setelah Allah s.w.t. memberi hidayahnya kepada kami. Pelindunganku adalah Allah Yang Maha Berkuasa dan bukan sanad kerabatku, Dialah yang memberi tugas kepadaku dan Dia pula akan melindungiku dari segala gangguan dan ancaman. Adakah sanak saudaraku yang engkau lebih segani daripada Allah yang Maha Berkuasa?"

Sejak berdakwah dan bertabligh menyampaikan risalah Allah s.w.t. kepada kaum Madyan, Nabi Syu'aib berhasil menyedarkan hanya sebahagian kecil dari kaumnya, sedang bahagian besar masih tertutup hatinya bagi cahaya iman dan tauhid yang diajar oleh beliau. Mereka tetap berkeras kepala mempertahankan tradisi, adat-istiadat dan agama yang mereka warisi dari nenek moyang mereka. Itulah alasan mereka satu-satunya yang mereka kemukakan untuk menolak ajaran Nabi Syu'aib dan itulah benteng mereka satu-satunya tempat mereka berlindung dari serangan Nabi Syu'aib atas persembahan mereka yang bathil dan adat pengaulan mereka yang mungkar dan sesat. Di samping itu jika mereka sudah merasa tidak berdaya menghadapi keterangan-keterangan Nabi Syu'aib yang didukung dengan dahlil dan bukti yang nyata kebenaran, mereka lalu melemparkan tuduhan-tuduhan kosong seolah-olah Nabi adalah tukang sihir dan ahli sulap yang ulung. Mereka telah berani menentang Nabi Syu'aib untuk membuktikan kebenaran risalahnya dengan mendatangkan bencana dari Allah s.w.t. yang ia sembah dan menganjurkan orang menyembah-Nya pula.

Mendengar tentangan kaumnya yang menandakan hati mereka telah tertutup rapat-rapat bagi sinar agama dan wahyu yang ia bawa dan bahawa tiada harapan lagi akan menarik mereka ke jalan yang lurus serta mengangkat mereka dari lembah syirik dan kemaksiatan serta pergaulan buruk, maka bermohonlah Nabi Syu'aib kepada Allah s.w.t. agak menurunkan azzab seksanya kepada kaum Madyan bahawa wujud-Nya serta menentang kekuasaanNya untuk menjadi ibrah dan peringatan bagi generasi-generasi yang mendatang.

Allah Yang Maha Berkuasa berkenan menerima permohonan dan doa Syu'aib, maka diturunkanlah lebih dahulu di atas mereka hawa udara yang sangat panas yang mengeringkan kerongkongan kerana dahaga yang tidak dapat dihilangkan dengan air dan membakar kulit yang tidak dapat diubati dengan berteduh di bawah atap rumah atau pohon-pohon. Di dalam keadaan mereka yang sedang bingung, panik berlari-lari ke sana ke mari, mencari perlindungan dari terik panasnya matahari yang membakar kulit dan dari rasa dahaga kerana keringnya kerongkong tiba-tiba terlihat di atas kepala mereka gumpalan awan hitam yang tebal, lalu berlarilah mereka ingin berteduh dibawahnya. Namun setelah mereka berada di bawah awan hitam itu seraya berdesak-desak dan berjejal-jejal, jatuhlah ke atas kepala mereka percikan api dari jurusan awan hitam itu diiringi oleh suara petir dan gemuruh ledakan dahsyat sementara bumi di bawah mereka bergoyang dengan kuatnya menjadikan mereka berjatuhan, tertimbun satu di bawah yang lain dan melayanglah jiwa mereka dengan serta-merta.

Nabi Syu'aib merasa sedih atas kejadian yang menimpa kaumnya dan berkata kepada para pengikutnya yang telah beriman: "Aku telah sampaikan kepada mereka risalah Allah s.w.t., menasihati dan mengajak mereka agar meninggalkan perbuatan mungkar serta persembahan bathil mereka dan aku telah memperingatkan mereka akan datangnya seksaan Allah s.w.t. bila mereka tetap berkeras hati, menutup telinga mereka terhadap suara kebenaran ajaran-ajaran Allah s.w.t. yang aku bawa, namun mereka tidak menghiraukan nasihatku dan tidak mempercayai peringatanku. Kerananya tidak patutlah aku bersedih hati atas terjadinya bencana yang telah membinasakan kaumku yang kafir itu.'

Translate

CLOSE